Adsense Menu

Jumat, 11 Februari 2011

Pelatih Terlama
Minggu, 24 Oktober 2010 | 04:58 WIB
Fred Everiss menangani West Bromwich Albion selama 46 tahun. Pelatih terlama yang menangani satu klub.

SIR ALex Ferguson termasuk pelatih yang awet menangani satu tim, Manchester United. Namun, sebenarnya dia bukan yang terlama. Namun, mengacu pada sejarah keseluruhan sejak sepak bola dimainkan, Fred Everiss merupakan pelatih paling betah menangani satu klub.

Ia menangani West Bromwich Albion (WBA) sejak 1902 dan baru berakhir pada 1948. Artinya, dia sudah melatih WBA selama 46 tahun.

Urutan kedua dipegang Guy Roux. Dia menangani Auxerre selama 44 tahun, termasuk ketika digantikan sementara untuk menjalani wajib militer dan menjalankan perawatan akibat sakit yang dia derita.

Berikut ini daftar beberapa pelatih dengan masa kerja terpanjang di satu klub.

Fred Everiss Dia melatih West Bromwich (Inggris) selama 46 tahun pada periore 1902-1948.

Guy Roux Pelatih Auxerre (Perancis) selama 44 tahun periode 1961-2005.

Willie Maley Pelatih Glasgow Celtic (Skotlandia) selama 43 periode 1897-1940.

Dario Gradi Pelatih Crewe Alexandra (Inggris) selama 26 tahun periode 1983-2008 dan 2009 sampai sekarang.

Sir Alex Ferguson Melatih Manchester United (Inggris) selama 24 tahun periode 1986 sampai sekarang.

Sumber : Dunia Soccer

Sabtu, 30 Januari 2010

Zac: Ayo Berubah, Juve!

Pelatih Juventus, Alberto Zaccheroni.

TURIN, KOMPAS.com — Pelatih baru Juventus, Alberto Zaccheroni, menegaskan bahwa kini saatnya bagi Juve untuk berubah. Niscaya, "I Bianconeri" akan lebih baik di akhir musim.

Tugas Zac, sebutan bagi Zacheroni, memang cukup berat. Ia harus mengembalikan semangat Alessandro Del Pierro dkk yang mengalami sembilan kekalahan dalam 12 laga terakhir. Juve sudah tidak bisa juara di Liga Champions dan Coppa Italia sehingga harapan satu-satunya adalah mengejar ketinggalan 16 poin dari pimpinan klasemen Serie-A, Inter Milan.

"Kini waktunya membalik lembaran hidup. Saya menghargai kerja sebelumnya karena Juventus punya gaya kemenangan sepak bola, tapi saya tak tahu temperamen skuad," kata Zac saat diperkenalkan ke publik, Jumat (29/1/2010).

"Saya suka tantangan, putaran hidup baru dimulai. Skuad ini sangat penting dan saya tak tahu berapa banyak tim yang superior dibanding Juve. Saya akan memakai kecakapan saya, tapi lebih dari itu saya yakin dapat mengatasi tantangan ini," tambahnya.

Zac punya pengalaman bagus di Serie-A. Pada 1999, ia membawa AC Milan meraih scudetto. Berdasarkan pengalaman itu, ia yakin dapat menangani Juve dengan baik.

"Saya hanya pernah melatih satu tim di level tinggi dan itu adalah Milan. Juventus mirip dengan mereka," ujar pelatih yang pernah melatih Inter Milan itu.

Kontrak Zac dan Juve hanya sampai akhir musim ini. Jika sukses, bisa jadi ia akan kembali melatih "Si Nyonya Tua" untuk prestasi lebih baik di musim depan.

Kamis, 28 Januari 2010

Theme Song World Cup 2010

Wavin Flag

By: K'naan

When i get older, they'll call me freedom
Just like a Waving Flag.

[Chorus]
When I get older, I will be stronger,
They'll call me freedom, just like a Waving Flag,
And then it goes back, and then it goes back,
And then it goes back

Born to a throne, stronger than Rome
but Violent prone, poor people zone,
But it's my home, all I have known,
Where I got grown, streets we would roam.
But out of the darkness, I came the farthest,
Among the hardest survival.
Learn from these streets, it can be bleak,
Except no defeat, surrender retreat,

So we struggling, fighting to eat and
We wondering when we'll be free,
So we patiently wait, for that fateful day,
It's not far away, so for now we say

[Chorus]

So many wars, settling scores,
Bringing us promises, leaving us poor,
I heard them say, love is the way,
Love is the answer, that's what they say,
But look how they treat us, Make us believers,
We fight their battles, then they deceive us,
Try to control us, they couldn't hold us,
Cause we just move forward like Buffalo Soldiers.

But we struggling, fighting to eat,
And we wondering, when we'll be free
So we patiently wait, for that faithful day,
It's not far away, but for now we say,

[Chorus] 2x

(Ohhhh Ohhhh Ohhhhh Ohhhh)
And everybody will be singing it
(Ohhhh Ohhhh Ohhhhh Ohhhh)
And you and I will be singing it
(Ohhhh Ohhhh Ohhhhh Ohhhh)
And we all will be singing it
(Ohhh Ohh Ohh Ohh)

[Chorus] 2x

When I get older, when I get older
I will be stronger, just like a Waving Flag,
Just like a Waving Flag, just like a Waving flag
Flag, flag, Just like a Waving Flag

Sabtu, 16 Januari 2010

Mutiara yang Terlupakan


Assalamualaikum

Ramang


Beliau adalah sosok legenda besar yang pernah dimiliki Indonesia tapi apakah anda sering mendengar tentang biografinya???

Ini berita ane dapat dari wikipedia

Ramang (lahir: 1928; meninggal di Makassar, 26 September 1987) adalah pemain sepak bola Indonesia dari PSM Makassar yang terkenal pada tahun 1950-an. Ia berposisi sebagai penyerang. Dia pernah mengantarkan PSM ke tangga juara pada era Perserikatan serta pernah memperkuat tim nasional sepak bola Indonesia.

Awal karir

Ramang mulai memperkuat PSM Makassar pada tahun 1947, waktu itu masih bernama Makassar Voetbal Bond (MVB). Melalui sebuah klub bernama Persis (Persatuan sepak bola Induk Sulawesi) ia ikut kompetisi PSM. Pada sebuah pertandingan, ia mencetak sebagian besar gol dan membuat klubnya menang 9-0. Sejak itulah ia dilamar bergabung dengan PSM. Ramang memang sudah mulai menendang-nendang buah jeruk, gulungan kain dan bola anyaman rotan dalam permainan sepak raga sejak berusia 10 tahun. Ayahnya, Nyo'lo, ajudan Raja Gowa Djondjong Karaenta Lemamparang, sudah lama dikenal sebagai jagoan sepakraga. Bakat Ramang memang menurun dari sang ayah. Mulanya ia memperkuat Bond Barru, kota kelahirannya, namun menjelang proklamasi 1945, ia membawa keluarganya pindah ke Ujungpandang dan meninggalkan usaha warung kopi yang ia bangun bersama istrinya.

Pekerjaan lain


Sambil melakoni profesinya sebagai pemain sepak bola, Ramang juga menjadi seorang kenek truk dan tukang becak. Namun dalam sebuah wawancara di Majalah Tempo (7/10/1978), Ramang mengatakan bahwa ia terpaksa meninggalkan profesinya sebagai penarik becak karena sibuk bermain bola. Hal itu membuat kondisi keluarganya yang tinggal menumpang di sebuah rumah temannya menjadi sangat memprihatinkan. "Namun apapun yang terjadi, coba kalau isteri saya tidak teguh iman, mungkin sinting," kata macan bola itu. Ramang memang tak bisa lepas dari lapangan sepak bola. Baginya, meninggalkan lapangan sepak bola sama saja menaruh ikan di daratan. "Hanya bisa menggelepar-gelepar lalu mati," katanya.

Setahun setelah kemenangan klubnya 9-0 dalam kompetisi PSM, Ramang sudah keliling Indonesia bermain bola. Tapi ketika ia kembali ke Makassar seorang datang melamarnya bekerja sebagai opas di Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Gajinya? Tak pernah naik tetap saja Rp 3.500. Untungnya hanya satu: ia masih tetap bisa main bola.

Karir di tim nasional sepak bola Indonesia


Pada tahun 1952 ia menggantikan Sunardi, kakak Suardi Arlan mengikuti latihan di Jakarta. Ini menyeretnya menjadi pemain utama PSSI. Didampingi Suardi Arlan di kanan dan Nursalam di kiri, ia bagai kuda kepang di tengah gelanggang. Permainannya sebagai penyerang tengah sangat mengagumkan. Maka setahun kemudian ia keliling di beberapa negeri asing. Namanya meroket menjadi pemain favorit penonton dan disegani pemain lawan.

Pada lawatannya tahun 1954 ke berbagai negeri Asia (Filipina, Hongkong, Muangthai, Malaysia) PSSI hampir menyapu seluruh kesebelasan yang dijumpai dengan gol menyolok. Dari 25 gol (dan PSSI hanya kemasukan 6 gol) 19 di antaranya lahir dari kaki Ramang.

Berkat prestasi Ramang, Indonesia masuk dalam hitungan kekuatan bola di Asia. Satu demi satu kesebelasan Eropa mencoba kekuatan PSSI. Mulai dari Yugoslavia yang gawangnya dijaga Beara (salah satu kiper terbaik dunia waktu itu), klub Stade de Reims dengan si kaki emas Raymond Kopa, kesebelasan Rusia dengan kiper top dunia Lev Jashin (dijadikan nama trophy kiper terbaik di piala dunia), klub Locomotive dengan penembak maut Bubukin, sampai Grasshopers dengan Roger Vollentein. "Tapi itu bukan prestasi saya saja, melainkan kerjasama dengan kawan-kawan," ujar Ramang merendah, sembari menyebut nama temannya satu per satu: Maulwi Saelan, Rasjid, Chaeruddin, Ramlan, Sidhi, Tan Liong Houw, Aang Witarsa, Thio Him Tjiang, Danu, Phoa Sian Liong dan Djamiat.

Ramang dikenal sebagai penyerang haus gol. Ramang memang penembak lihai, dari sasaran mana pun, dalam keadaan sesulit bagaimana pun, menendang dari segala posisi sambil berlari kencang. Satu keunggulan yang masih diidamkan oleh setiap pemain bola kita hingga saat ini, terutama tembakan salto. Keahlian itu tampaknya karunia alam untuk pribadi Ramang seorang sebagai bekas pemain sepakraga yang ulung. Gol melalui tendangan salto yang indah dan mengejutkan seringkali dipertunjukkan oleh Ramang. Satu di antaranya saat PSSI mengalahkan RRC dengan 2-0 di Jakarta. Kedua gol itu lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto. Itu pertandingan menjelang Kejuaraan Dunia di Swedia, 1958. Pertandingan kedua dilanjutkan di Peking, Indonesia kalah dengan 3-4, sedang yang ketiga di Rangoon (juga melawan RRC) dengan 0-0. Sayang sekali lawan selanjutnya ialah Israel (yang tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia) maka PSSI terpaksa tidak berangkat.

Mendengar kehebatan Ramang di lapangan sepak bola, tak heran jika di tahun 50-an, banyak bayi lelaki yang lahir kemudian diberi nama Ramang oleh orangtuanya.

Jika Ramang ditanya mengenai pertandingan paling berkesan, di sejumlah media, ia menyebut ketika PSSI menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956. "Ketika itu saya hampir mencetak gol. Tapi kaus saya ditarik dari belakang," kata Ramang.

Akhir karir

Kejayaan Ramang ternyata singkat saja, tahun 1960, sesudah namanya sempat melangit ia dijatuhi skorsing. Ramang dituduh makan suap. Tahun 1962 ia dipanggil kembali, tapi pamornya sudah berkurang. Pada tahun 1968, dalam usia 40 tahun, Ramang bermain untuk terakhir kalinya membela kesebelasan PSM di Medan, yang berakhir dengan kekalahan. Meskipun setelah itu kariernya di sepak bola tidaklah betul-betul mati. Saat ia sedang menggelepar-gelepar seperti ikan di daratan, ia mendapatkan panggilan Bupati Blitar untuk menjadi pelatih di sana.

Karir kepelatihan


Karier kepelatihan Ramang juga tercatat di PSM dan Persipal Palu. Sewaktu menjadi pelatih di Persipal, ia bahkan pernah dihadiahi satu hektar kebun cengkeh oleh masyarakat Donggala, Palu, karena prestasinya membawa Persipal menjadi satu tim yang disegani di Indonesia. Penghargaan seperti ini tak pernah ia dapatkan di PSM Makassar. Tetapi menjadi pelatih sepak bola ternyata tidak mudah bagi seorang tamatan Sekolah Rakyat seperti Ramang. Ia kemudian harus disingkirkan pelan-pelan hanya karena ia tidak memiliki sertifikat kepelatihan. Dalam melatih, Ramang hanya mengajarkan pengalamannya ditambah dengan teori yang pernah ia dapatkan dari mantan pelatih PSSI, Tony Pogacknic, yang ia sangat hormati.

Ramang pernah menyebut bahwa pemain sepak bola sepertinya tidak lebih berharga dari kuda pacuan. "Kuda pacuan dipelihara sebelum dan sesudah bertanding, menang atau kalah. Tapi pemain bola hanya dipelihara kalau ada panggilan. Sesudah itu tak ada apa-apa lagi," katanya dengan kecewa. Namun Ramang sudah berketetapan hati menutup kisah masa lampaunya itu. "Buat apa mengenang masa-masa seperti itu sementara orang lebih menghargai kuda pacuan?" katanya. Kekecewaan itu tampaknya begitu berat merundungnya, hingga ia seringkali sengaja sembunyi hanya untuk mengelak wawancara dengan seorang wartawan. Meski banyak dorongan dan tawaran buat menulis biografinya, ia selalu menggelengkan kepala. Dulu katanya, memang pernah ada seseorang yang menerbitkan riwayat hidupnya. Tapi ia sendiri sudah lupa judul buku dan nama penulisnya.

Meninggal dunia

Suatu malam di tahun 1981, sehabis melatih anak-anak PSM, Ramang pulang dengan pakaian basah dan membuatnya sakit. Enam tahun ia menderita sakit di paru-parunya tanpa bisa berobat ke Rumah Sakit karena kekurangan biaya. Pada tanggal 26 September 1987, di usia 59 tahun, mantan pemain sepak bola legendaris itu meninggal dunia di rumahnya yang sangat sederhana yang ia huni bersama anak, menantu dan cucunya yang semuanya berjumlah 19 orang. Ramang dimakamkan di TPU Panaikang. Untuk mengenang jasanya, sebuah patung di lapangan Karebosi dibuat untuknya. Selain itu hingga sekarang salah satu julukan PSM Makassar adalah Pasukan Ramang.

Ironis memang mengetahui kisah hidup mantan bintang sepak bola itu. Apalagi Ramang kini hanya diapresiasi dengan sebuah patung yang dibuat seadanya, yang berdiri di pintu utara Lapangan Karebosi.

Indonesia 1986-87, Saat Merah Putih Berkibar

Assalamualaikum

Nih berita yang ane dapat dari Kompas Bola tentang prestasi yang membanggakan yang diukir oleh TIMNAS SEPAKBOLA INDONESIA...

"Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku.... Indonesia raya merdeka-merdeka, hiduplah Indonesia raya…."

JUTAAN anak bangsa tak kuasa menahan haru mendengar lagu kebangsaan "Indonesia Raya" berkumandang di langit biru. Rasa bangga tak terkira, karena hanya para juaralah yang berhak menyanyikan lagu kebangsaannya di arena pertarungan antarbangsa. Dan, timnas Indonesia berhak menyanyikan lagu sakral tersebut sebagai imbalan mengangkangi medali emas SEA Games 1987. Untuk pertama kalinya pula, sepak bola Indonesia mampu mengibarkan bendera Merah Putih di kejuaraan antarbangsa.

Saat itu, langit bulan September betul-betul terasa biru bagi rakyat Indonesia. Lewat gol tunggal Ribut Waidi di menit ke-91 ke gawang Malaysia di partai final, untuk pertama kalinya Indonesia bisa merengkuh medali emas sepak bola di ajang SEA Games.

Ini merupakan trofi antarbangsa pertama yang pernah direbut timnas Indonesia. Dominasi Thailand dipatahkan. Kekuatan Malaysia dibenamkan. Sungguh prestasi yang heroik. “Pendahulu-pendahulu kami juga tak kalah hebatnya, tapi mereka tidak pernah berhasil mempersembahkan gelar juara. Wajar jika kami sangat bangga atas prestasi ini,” ujar Patar Tambunan, gelandang kanan yang ikut berandil mempersembahkan medali emas SEA Games 1987, Selasa (21/12).

Tidak hanya Patar Tambunan yang patut berbangga hati. Semua pecinta bola Indonesia pastilah ikut bangga. Melihat prestasi timnas Indonesia kala itu, semua warga yang punya KTP Indonesia bisa sedikit mendongakkan kepala. Indonesia bukan lagi tim macan kertas. Indonesia adalah yang terkuat, setidaknya di Asia Tenggara.

“Malah kami juga terhitung 4 besar di Asia,” ucap striker legendaris Indonesia, Ricky Yakobi, Selasa (21/12). Statement Ricky bukan sekadar bualan. Satu tahun sebelumnya, tim perebut medali emas SEA Games 1987 ini berhasil menapaki babak semifinal Asian Games 1986. Ini adalah prestasi tertinggi dalam lembaran sejarah sepak bola nusantara. Yang hingga saat ini, Indonesia belum bisa mengulanginya.

BERSATU LUAR DALAM
Tak dapat disangkal, timnas Indonesia 1986-87 merupakan timnas terhebat yang pernah dimiliki Indonesia—jika ukurannya trofi antarbangsa. Saat itu Indonesia punya pemain besar semacam Herry Kiswanto, Rully Nere, Robby Darwis, dan Ricky Yakobi. Talenta hebat yang kemudian berpadu dengan pelatih tak kalah hebat, mendiang Bertje Matulapelwa.

“Bertje adalah pelatih hebat. Prinsip open management yang diterapkannya mampu menciptakan iklim tim yang kondusif,” kenang asisten pelatih Bertje kala itu, Sutan Harhara, Selasa (21/12).

Prestasi Indonesia kala itu memang tak bisa dilepaskan dari sosok pelatih yang dijuluki "Sang Pendeta" tersebut. Dia bisa menyatukan pemain dari unsur yang berbeda, Galatama dan Perserikatan. Patut dicatat, saat itu beredar rumor bahwa pemain alumni Galatama tidak begitu akur dengan alumni Perserikatan.

Embrio generasi emas itu terbentuk, pada akhir 1985. Setelah proyek timnas Garuda 1 selesai, PSSI memberikan mandat kepada Bertje guna membentuk tim baru. Mandat yang berat, pasalnya mental Indonesia sedang terpuruk setelah dibantai Thailand 0-7 di SEA Games 1985.

Bertje mencoba membangkitkannya. Dengan lugas dia mengumpulkan talenta berbakat dari Galatama (seperti Ricky Yakobi dan Nasrul Koto), Perserikatan (Robby Darwis, Ribut Waidi, dll) dan sejumlah alumni Garuda 1 (semacam Patar Tambunan dan Marzuki Nyak Mad).

Proses pembentukan tim yang padu, ujar Sutan Harhara, ternyata gampang-gampang susah. Saat tim sudah lumayan padu, pada medio 1986 iklim tim hampir rusak karena masalah duit. Uang saku dari PSSI kepada pemain dinilai terlalu minim.

Bayangkan saja, hadiah dari KONI untuk medali emas hanya Rp 1 juta per pemain. Sedangkan uang saku per bulannya selama pelatnas tak kalah mepet, kurang dari Rp 750.000/bulan. Herry Kiswanto berkisah, dia bersama semua anggota tim pernah meminta kenaikan uang saku.

Sayang, tuntutan tersebut tak digubris. Patah semangat? Untungnya tidak. Panggilan membela negara, ujar Herry Kiswanto, jauh lebih penting. Berkat suntikan semangat dari Bertje, para pemain Indonesia membuang jauh-jauh nafsu mengumpulkan duit. Yang tertanam hanya satu kalimat, kibarkan Sang Merah Putih di langit internasional. Tim Merah Putih di tangan Bertje, sebulan sebelum Asian Games digelar, sempat melakukan uji coba lebih dari sebulan di Brasil. Formasi baru 4-3-3 yang memasang Ricky Yakobi sebagai striker tunggal ternyata lumayan paten. Hasilnya terbaca pada Asian Games 1986. Indonesia lolos ke semifinal. Sayang untuk kemudian kandas di tangan Korea Selatan.

Seusai Asian Games, Bertje melakukan perubahan besar. Ban kapten dipindahkan dari lengan Herry Kiswanto ke Ricky Yakobi. Padahal, umur Ricky kala itu baru 23. “Bertje ingin melakukan regenerasi. Dan, aku merasa sudah saatnya dilakukan,” ujar Herry.


Regenerasi itu berlangsung cemerlang. Indonesia benar-benar terbang tinggi di SEA Games 1987 Jakarta. Di hadapan pendukung setia, Indonesia tampil trengginas. Seusai membabat Burma 4-1 di semifinal, Indonesia menjinakkan Malaysia 1-0 di partai puncak.


Indonesia juara. Merah Putih pun berkibar di langit Asia Tenggara. (yoyok/SOCCER)

Fakta timnas Indonesia 1986-87
Pelatih: Bertje Matulapelwa
Skuad: Ponirin Meka, Jaya Hartono, Robby Darwis, Herry Kiswanto, Marzuki Nyak Mad, Sutrisno, Budi Wahyono, Patar Tambunan, Nasrul Koto, Rully Nere, Azhary Rangkuti, Ricky Yakobi, Ribut Waidi.
Prestasi: Semifinal Asian Games 1985, Juara SEA Games 1987

Raihan Timnas PSSI di level SEA Games
Indonesia baru resmi ikut ajang SEA Games pada 1977. Selama kurun itu hingga saat ini, Indonesia hanya sempat 2 kali terbang tinggi. Pertama pada SEA Games 1987. Kedua pada 1991. Setelah itu prestasi Tim Merah Putih cenderung melorot.

1977 - Semifinal
1979 - Peringkat ke-2
1981 - Peringkat ke-3
1983 - Penyisihan grup
1985 - Semifinal
1987 - Juara
1989 - Peringkat ke-3
1991 - Juara
1993 - Semifinal
1995 - Penyisihan grup
1997 - Peringkat ke-2
1999 - Peringkat ke-3
2001 - Semifinal
2003 - Penyisihan grup
2005 – Semiifinal
2007 – Penyisihan gup
2009 – Penyisihan grup

AYO BANGKITLAH TIMNAS SEPAKBOLA INDONESIA YANG SEKARANG RAIHLAH PRESTASI YANG PERNAH DIUKIR OLEH PENDAHULUMU!!!



 

© Copyright by Winarto's Blog | Template by BloggerTemplates | Blog Templates at Fifa World